Kamis, 05 April 2012

Karts Maros dan Pangkep

Tahun 2001 mempunyai makna tersendiri bagi kalangan pencinta karst dan pemerhati lingkungan di Sulawesi Selatan, Pasalnya pada tahun ini  salah satu dari kawasan khas dan unik yang dimiliki daerah ini secara aklamasi diakui oleh kalangan ilmuan dan penelusur gua dari 34 negara didunia sebagai kawasan yang memiliki nilai dunia dan mendesak untuk segera dikonservasi. Momen ini dianggap sebagai titik awal perhatian yang signifikan terhadap kelangsungan manfaat dari kawasan karst seluas 300.000 hektar yang membentang sepanjang timur Kab. Maros dan Pangkep. Perhatian  dunia ini setidaknya mampu menjadi kontrol terhadap eksploitasi berlebihan yang hanya mengedepankan kepentingan sesaat dan segolongan manusia selama ini.
Kawasan karst Maros-Pangkep oleh ahli geologi  termasuk dalam golongan Formasi Tonasa yang berumur antara miosen awal sampai miosen akhir, terbentuk dari aktifitas air pada areal batu gamping sehingga membentuk bentangan alam yang khas.. Berdasarkan penelitian yang pernah dilakukan, ternyata kawasan ini mengandung sumber tambang yang besar utamanya untuk Industri Semen dan Marmer serta kandungan batu kerikil dan pasir  untuk keperluan bangunan. Hadirnya batuan beku yang mengintrusi batu gamping dibeberapa tempat menyebabkan terjadinya proses metamorfosis batu gamping menjadi Marmer. Proses intrusi ini antara lain dijumpai di  daerah Bungoro Kab. Pangkep dan di Leang-leang Kabupaten Maros. 
Sampai saat ini tercatat dua industri semen yang beroperasi di Kawasan Karst Maros Pangkep yaitu Industri Semen Tonasa yang berada di dua Tempat di kab. Pangkep dengan luas areal sekitar 1354,7 ha atau Kurang lebih 25% dari kawasan kars yang ada di Kab. Pangkep dan Industri Semen Bosowa (Anak Perusahan Bosowa Grup)  yang beroperasi sejak tahung 1988 di kawasan karst Maros dengan luas ijin usaha sebesar 720 ha. Selain itu tercatat 24 perusahan marmer telah mengantongi isin usaha dengan luas areal kelolah antara 15 – 25 hektar. Ekploitasi bahan galian marmer ini terpusat di dua tempat yaitu di Kecamatan Bungoro kabupaten Pangkep dan di Desa Leang-leang di Kabupaten Maros. Industri marmer yang telah resmi beroperasi diantaranya adalah  PT. Citatah Tbk.….. di Kecamatan Bungoro Kabupaten Pangkep dan PT. Sulawesi, PT Bosowa Mining, PT. Makassar Langgaulaweng di Desa Leang-Leang Kabupaten Maros. Rata-rata isin usaha perusahan marmer ini berkisar antara 15 –25 hektar.
Dampak lingkungan yang secara langsung dapat dilihat di lapangan diakibatkan oleh industri ini adalah perubahan fisik kawasan menjadi daerah gurun batu yang gersang.  Perluasan kerusakan seperti ini akan semakin bertambah sejalan dengan  aktifitas pabrik dan juga akan disertai polusi udara akibat debu. Belum termasuk kemungkinan dampak sosial yang potensial tercipta dari penduduk yang bermukim disekitar areal pabrik. yang pada akhirnya akan memunculkan konflik vertikal antara masyarakat dan perusahaan, karena pada kenyataannya kebanyakan dari industri ini tidak memperdulikan kesejahteraan masyarakat sekitar.
Penggundulan hutan penutup karst juga akan berlanjut dengan penurunan kemampuan menyerap dan menyimpan air yang diketahui selama ini sebagai sumber penyangga hidup masyarakat Maros dan Pangkep khusunya untuk pengadaan air bersih.
Kekhawatiran terhadap kelestarian fungsi kawasan karst Maros Pangkep cukup beralasan karena ada indikasi bahwa kebanyakan dari perusahaan pertambangan ini tidak dilengkapi dengan rencana pemulihan lahan pasca pengrusakan (Dokumen AMDAL).   Lahan bekas operasi pabrik nantinya mau dijadikan apa ? . Pertanyaan sederhana seperti ini mestinya tidak sulit dijawab oleh perusahaan yang dilengkapi dengan dokumen amdal, tetapi dalam satu kunjungan lapangan yang dilakukan oleh MPA se Indonesia ke salah satu Industri semen di Maros, jawaban yang muncul jauh dari yang diharapkan bahkan terkesan mengada-ada. Pemerintah dalam hal ini Bapedalda juga tidak mampu memberikan jawaban yang memuaskan terhadap pertanyaan yang serupa.
Kerusakan fisik semata, mungkin tidak cukup menjadi motif kecemasan kita dibanding dengan besarnya konstribusi yang disumbangkan oleh perusahaan untuk pendapatan asli daerah (PAD) yang bersangkutan. Atau berapa tenaga kerja yang mampu di tampung perusahaan. Akan tetapi perlu diingat bahwa kawasan ini menyimpan potensi biodipersity yang tak ternilai, bahkan jauh sebelum kerusakan mulai dirasakan, pemerintah dengan bijak telah menetapkan beberapa tempat di dalam kawasan karst Maros Pangkep sebagai kawasan konservasi, diantaranya CA. Bantimurung, CA. Karaenta. Dan TWA Bantimurung serta TWA pattunuang Asue  di Kab. Maros serta CA. Bulusaraung di Kab. Pangkep.
Salah satu tujuan konservasi ini adalah untuk melindungi beberapa spesies Flora dan Fauna endemik yang diketahui Menghuni kawasan Kars Maros Pangkep seperti Kera Hitam (Macaca maura), ( Penelopides exahatus), Burung Enggang Besar Sulawesi (Rhyticerus cassedix), Kuskus Sulawesi ( Phalanger celebencis), Kuskus Beruang ( Phalanger ursius), Musang Sulawesi  (Macrogolidia messenbraecki)  Burung Enggang Sulawesi, Kayu Eboni (Diospyrus celebica) serta puluhan jenis insekta (Kupu-Kupu) yang diantaranya ada yang tergolong langka dan endemik. 
 
Upaya perlindungan seperti ini mestinya mampu melestarikan keanekaragaman plora fauna terutama yang berstatus endemic, akan tetapi kenyataanya dalam kawasan konservasi ini juga tidak luput dari ancaman kerusakan. Sebutlah misalnya TWA Bantimurung yang begitu populer dengan keaneka ragaman kupu-kupunya. Kenyataan sekarang populasi kupu-kupu bantimurung  merosot drastic akibat penangkapan liar dan tidak terkendali. Ironisnya hasil tangkapan liar ini dijual secara bebas dan murah meriah kepada pengunjung di dalam kawasan.
Nasib keluarga insecta ini agaknya perlu mendapat perhatian serius kalau tidak ingin Julukan sebagai The Kingdom Of Butterfly untuk Bantimurung menjadi tinggal nama dan sejarah belaka. Setidaknya fungsi penangkaran kupu-kupu yang dimiliki kawasan diaktifkan dan dioptimalkan untuk mengimbangi laju mortalitas akibat degradasi habitat dan penangkapan liar.
Ketidak beresan manajemen pengelolaan Taman Wisata Alam menjadi salah satu penyebab utama banyaknya kerusakan yang timbul sehingga hampir semua tempat-tempat wisata dalam kawasan mengalami banyak kerusakan, sehingga paket -paket wisata alam yang ditawarkan menjadi tidak menarik lagi. Kawasan perguaan (Endo karst) yang sangat sensitif terhadap interaksi manusia juga menjadi sasaran eksploitasi keparawisataan tanpa studi kelayakan sebelumnya, sehingga dalam waktu singkat, beberapa gua yang ditawarkan sebagai objek wisata mengalami kerusakan parah baik biologis maupun estetik. Salah satu penyebabnya adalah intensitas kunjungan yang terlampau tinggi dan tidak adanya pengetahuan yang memadai tentang etika menelusur baik oleh pengelolah apalagi pengunjung. Biasanya pengujung dibiarkan menelusur tanpa pendamping yang mengerti etika penelusuran gua.
Sekarang ini kalau kita mendatangi gua-gua wisata seperti Gua Mimpi di Bantimurung atau Gua-gua di TWA Pattunuang Asue jangan berharap akan menjumpai keindahan ornamen gua atau fauna yang khas hidup dalam kegelapan abadi, karena telah dipenuhi dengan coretan-coretan yang tidak enak dipandang mata dan keunikan fauna gua sendiri telah raib entah ke mana.
Ditengah serubuan berbagai kepentingan seperti ini, muncul ide penetapan sebagian besar kawasan karst maros pangkep sebagai Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung. Kehadiran ide Dewa Penyelamat Nasional ini diharapkan mampu menjawab komplik antara kepentingan ekonomi dan pelestarian alam yang seharusnya dapat berjalan berdampingan. Semoga Taman Nasional itu nantinya bukan sekedar nama belaka. Jangan biarkan bukit-bukit karst itu hancur jadi cadas merangas….!

0 komentar:

Posting Komentar