Rabu, 12 Desember 2012

KARST, GUDANGNYA FAUNA GUA


CAHYO RAHMADI
Bidang Zoologi Pusat Penelitian Biologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia

Dalam kurun lebih dari dua abad, 84 jenis fauna gua, khususnya invertebrata,telah ditemukan dan dicatat.Angka itu sangat kecil, bila dibandingkan keberadaan fauna yang sesungguhnya dan waktu yang dibutuhkan. Hampir 50persen di antaranya adalah jenis trogoblit: khas gua, tak pernah ditemukan di luar Jiang Bumi.
Temuan jenis baru memang mengalami pasang surut. Masa 1798-1938, selama 38 tahun tercatat 32 jenis. Kemudian menurun, hanya empat jenis baru tercatat pada periode 1940-1985. Baru, dalam 21 tahun terakhir, dideskripsi 38 jenis baru dari gua-gua Indonesia.
Sayangnya, nyaris 98 persen jenis baru itu dideskripsi oleh orang asing. Keterlibatan orang Indonesia masih sangat kecil dan baru berkontribusi nyata pada awal tahun 2000-an.

Surga bagi peneliti asing
Dari catatan tersebut, gua-gua Indonesia masih berpotensi menyimpan beragam fauna dan ratusan kandidat jenis barn. Tabun 2005,misalnya, sejenis laba-laba barn sebesar telapak tangan dikoleksi dari gua-gua di Karst Maros.
Laba-laba ini sangat mudah ditemukan. Setelah dipelajari lebih jauh, akhirnya, dinamai Heteropoda beroni. Fauna sebesar ini saja menjadi jenis barn di Indonesia; apalagi jenis-jenis yang kecil dan mikro. Contoh lain, sejenis udang-udangan gua di Karst Cibinong, selatan Jakarta. Jenis ini, catatan barn di Jawa; dan disebut Stenasellus javanicus.
Hal inilah yang menjadi salah satu alasan mengapa orang asing begitu bersemangat untuk mengeksplorasi Jiang-Jiang tanah Indonesia. Seorang peneliti Prancis yang kerap keluar-masuk gua Nusantara berpendapat, kekayaan fauna gua Indonesia tertinggi di kawasan Asia tropis.
Pun, buku serial Ecosystem of The World: Subterannean Ecosystem mengungkap, hanya dari satu sistem gua di Karst Maros bisa dijumpai beberapa jenis fauna yang jumlahnya melebihi yang ditemukan di Thailand maupun negara lainnya.

Langka namun terabaikan
Fauna gua, khususnya invertebrata, adalah kelompok yang menarik; selain populasinya yang sangat kecil, juga sangat rentan terhadap perubahan lingkungan. Ditinjau tingkat keendemikannya, fauna gua mempunyai tingkat endemisitas yang tinggi. Hal ini tidak kalah dengan curik bali yang hanya ditemukan di Pulau Bali maupun elang jawa yang terbatas di Pulau Jawa.
Beberapa jenis yang ditemukan diyakini bersebaran sangat terbatas. Stenasellus javanicus, sampai saat ini, hanya ditemukan di sebuah genangan air di satu gua Cibinong. Dan, belum pernah ditemukan di gua lain di Jawa.
Kepiting-gua-buta dari Karst Maros, Cancrocaeca xenomorpha, hanya ditemukan di dua gua; namun kerabat dekatnya diyakini sebagai marga barn, hanya dijumpai di Pulau Muna dan gua di Sangkulirang, Kalimantan Timur. Kepiting gua lain yang endemik, Sesarmoides jacobsoni, hanya ditemukan di Karst Gunung Sewu, selatan Jawa.
Hampir semua jenis yang ditemukan adalah fauna bersebaran sangat terbatas dan mempunyai populasi yang sangat kecil. Jika memakai kategori IUCN [International Union for Conservation Nature and Natural Resources], sebuah lembaga konservasi sedunia, hampir semua fauna gua layak masuk Red List Data Book, buku daftar merah jenis.
Namun, sayangnya, kepedulian masyarakat maupun pemerintah atas fauna gua dan habitatnya masih jauh dari harapan rendah. Buktinya, belum ada lembaga swadaya masyarakat [LSM] yang menyerukan perlindungan atau menaruh perhatian terhadap fauna gua dan habitatnya.

Karst dan konservasi
Satu-satunya kawasan karst penting yang dilindungi dan berstatus taman nasional adalah Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung, Sulawesi Selatan. Status ini bisa jadi bukan lantaran keelokan kawasan karst dan fauna guanya; namun karena faktor lain.
Pakar manajemen kawasan karst Institut Pertanian Bogor, Arzyana Sunkar, mencatat, sebuah kawasan layak dilindungi berdasarkan tujuh pertimbangan. Pertimbangan tersebut: karakteristik dan keunikan ekosistem, jenis-jenis khusus yang diminati, memiliki keanekaragaman jenis,
Satu hal mutlak, pengembangan potensi kawasan karst tidak meningAalkan
pelestarian sekaligus menyejahterakan masyarakat sekitar. Perlu dipikirkan bersama untuk mencari pemecahan atas permasalahan yang ada.
bentang alam atau ciri geofisik yang spesifik, fungsi perlindungan hidrologi, fasilitas pariwisata alam dan tempat peninggalan budaya.
Nah, semua pertimbangan tersebut dijumpai di kawasan karst. Ekosistem karst dan gua sangat unik. Bentang alam dan ciri geofisiknya mempunyai kekhasan tersendiri antar satu kawasan dengan lainnya.
Hampir kawasan karst berfungsi sebagai tandon air raksasa dengan aliran sungai bawah tanah, seperti di Karst Gunung Sewu. Sebagai peninggalan budaya, gua-gua kawasan karst adalah penyimpan sejarah. Penemuan fosil manusia kerdil di Flores, manusia bandung di Gua Pawon dan gambar cadas di Sangkulirang, Maros dan daerah lainnya adalah sederet bukti.
Sebagai tempat wisata, kawasan karst pun tak kalah menarik. Panorama alam gua telah banyak diketahui, cocok untuk wisata massal maupun minat khusus; seperti penelusuran gua. Keberadaan fauna di dalamnya pun sudah layak menjadikan kawasan karst untuk dilindungi.
Namun, kondisi terkini ekosistem karst nyaris terabaikan; hanya sebagai tempat eksploitasi meraup keuntungan sesaat: mendongkrak pendapatan asli daerah [PAD]. Hampir pulau-pulau di Indonesia, kawasan karstnya digunakan sebagai lahan pertambangan.
Sejumlah kawasan karst direncanakan akan ditambang dan beberapa pabrik semen akan didirikan, seperti yang ada di Sangkulirang, Sukabumi, Grobogan dan Tuban. Penambangan ini akan berdampak pada fungsi hidrologi sehingga peran karst sebagai tandon air raksasa akan hilang. Pengelolaan wisata juga masih berorientasi wisata massal yang cenderung mengorbankan keaslian dan
keunikan gua.
 Potensi yang perlu dikembangkan
Karst sebagai ekosistem unik memang layak dilindungi, sekaligus juga akan
melindungi faunanya. Kriteria-kriteria perlindungan pun telah melekat pada kawasan
karst. Persoalannya, tinggal masyarakat dan pemerintah berupaya melestarikan keberadaaan karst dan segenap potensinya.
Satu hal mutlak, pengembangan potensi kawasan karst tidak meninggalkan pelestarian sekaligus menyejahterakan masyarakat sekitar. Perlu dipikirkan bersama untuk mencari pemecahan atas permasalahan yang ada.
Pengembangan wisata gua, hendaknya lebih berorientasi pada kelestarian. Bukan pada pendapatan sesaat yang mempertaruhkan nasib karst di masa depan.
Kerusakan-kerusakan gua akibat pengelolaan wisata yang kurang tepat, hendaknya
menjadi pelajaran yang berharga.
Pengembangan potensi hidrologi sebagai cumber kehidupan perlu didukung agar dapat menjamin kesejahteraan masyarakat. Pemanfaatan seperti yang dilakukan di Gua Bribin, Gunung Kidul, dapat menjadi teladan pemanfaatan yang lestari. Kesadaran beberapa pemerintah daerah dengan menerbitkan peraturan daerah karst perlu dilandasi data akurat; agar tepat dalam perumusan dan penerapannya.(sumber tulisan;Copy BRAGA – Juli 2007) (sumber dokumentasi;copy korpala&aps agustus 2008)

0 komentar:

Posting Komentar