CAHYO RAHMADI
Bidang Zoologi Pusat Penelitian Biologi, Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia
Dalam kurun lebih dari dua abad, 84 jenis fauna gua,
khususnya invertebrata,telah ditemukan dan dicatat.Angka itu sangat kecil, bila
dibandingkan keberadaan fauna yang sesungguhnya dan waktu yang dibutuhkan.
Hampir 50persen di antaranya adalah jenis trogoblit: khas gua, tak pernah
ditemukan di luar Jiang Bumi.
Temuan
jenis baru memang mengalami pasang surut. Masa 1798-1938, selama 38 tahun
tercatat 32 jenis. Kemudian menurun, hanya empat jenis baru tercatat pada
periode 1940-1985. Baru, dalam 21 tahun terakhir, dideskripsi 38 jenis baru
dari gua-gua Indonesia.
Sayangnya,
nyaris 98 persen jenis baru itu dideskripsi oleh orang asing. Keterlibatan
orang Indonesia masih sangat kecil dan baru berkontribusi nyata pada awal tahun
2000-an.
Surga bagi peneliti
asing
Dari
catatan tersebut, gua-gua Indonesia masih berpotensi menyimpan beragam fauna
dan ratusan kandidat jenis barn. Tabun 2005,misalnya, sejenis laba-laba barn
sebesar telapak tangan dikoleksi dari gua-gua di Karst Maros.
Laba-laba
ini sangat mudah ditemukan. Setelah dipelajari lebih jauh, akhirnya, dinamai Heteropoda
beroni. Fauna sebesar ini saja menjadi jenis barn di Indonesia; apalagi
jenis-jenis yang kecil dan mikro. Contoh lain, sejenis udang-udangan gua di
Karst Cibinong, selatan Jakarta. Jenis ini, catatan barn di Jawa; dan disebut Stenasellus
javanicus.
Hal
inilah yang menjadi salah satu alasan mengapa orang asing begitu bersemangat
untuk mengeksplorasi Jiang-Jiang tanah Indonesia. Seorang peneliti Prancis yang
kerap keluar-masuk gua Nusantara berpendapat, kekayaan fauna gua Indonesia
tertinggi di kawasan Asia tropis.
Pun,
buku serial Ecosystem of The World: Subterannean Ecosystem mengungkap,
hanya dari satu sistem gua di Karst Maros bisa dijumpai beberapa jenis fauna
yang jumlahnya melebihi yang ditemukan di Thailand maupun negara lainnya.
Langka namun
terabaikan
Fauna
gua, khususnya invertebrata, adalah kelompok yang menarik; selain populasinya
yang sangat kecil, juga sangat rentan terhadap perubahan lingkungan. Ditinjau
tingkat keendemikannya, fauna gua mempunyai tingkat endemisitas yang tinggi.
Hal ini tidak kalah dengan curik bali yang hanya ditemukan di Pulau Bali maupun
elang jawa yang terbatas di Pulau Jawa.
Beberapa
jenis yang ditemukan diyakini bersebaran sangat terbatas. Stenasellus javanicus,
sampai saat ini, hanya ditemukan di sebuah genangan air di satu gua
Cibinong. Dan, belum pernah ditemukan di gua lain di Jawa.
Kepiting-gua-buta
dari Karst Maros, Cancrocaeca xenomorpha, hanya ditemukan di dua gua;
namun kerabat dekatnya diyakini sebagai marga barn, hanya dijumpai di Pulau Muna
dan gua di Sangkulirang, Kalimantan Timur. Kepiting gua lain yang endemik, Sesarmoides
jacobsoni, hanya ditemukan di Karst Gunung Sewu, selatan Jawa.
Hampir
semua jenis yang ditemukan adalah fauna bersebaran sangat terbatas dan mempunyai
populasi yang sangat kecil. Jika memakai kategori IUCN [International Union for
Conservation Nature and Natural Resources], sebuah lembaga konservasi sedunia, hampir
semua fauna gua layak masuk Red List Data Book, buku daftar merah jenis.
Namun,
sayangnya, kepedulian masyarakat maupun pemerintah atas fauna gua dan habitatnya
masih jauh dari harapan rendah. Buktinya, belum ada lembaga swadaya masyarakat
[LSM] yang menyerukan perlindungan atau menaruh perhatian terhadap fauna gua
dan habitatnya.
Karst dan konservasi
Satu-satunya
kawasan karst penting yang dilindungi dan berstatus taman nasional adalah Taman
Nasional Bantimurung Bulusaraung, Sulawesi Selatan. Status ini bisa jadi bukan
lantaran keelokan kawasan karst dan fauna guanya; namun karena faktor lain.
Pakar
manajemen kawasan karst Institut Pertanian Bogor, Arzyana Sunkar, mencatat, sebuah
kawasan layak dilindungi berdasarkan tujuh pertimbangan. Pertimbangan tersebut:
karakteristik dan keunikan ekosistem, jenis-jenis khusus yang diminati,
memiliki keanekaragaman jenis,
Satu hal mutlak, pengembangan potensi kawasan karst tidak
meningAalkan
pelestarian sekaligus menyejahterakan masyarakat sekitar.
Perlu dipikirkan bersama untuk mencari pemecahan atas permasalahan yang ada.
bentang alam atau
ciri geofisik yang spesifik, fungsi perlindungan hidrologi, fasilitas
pariwisata alam dan tempat peninggalan budaya.
Nah,
semua
pertimbangan tersebut dijumpai di kawasan karst. Ekosistem karst dan gua sangat
unik. Bentang alam dan ciri geofisiknya mempunyai kekhasan tersendiri antar
satu kawasan dengan lainnya.
Hampir
kawasan karst berfungsi sebagai tandon air raksasa dengan aliran sungai bawah
tanah, seperti di Karst Gunung Sewu. Sebagai peninggalan budaya, gua-gua
kawasan karst adalah penyimpan sejarah. Penemuan fosil manusia kerdil di
Flores, manusia bandung di Gua Pawon dan gambar cadas di Sangkulirang, Maros
dan daerah lainnya adalah sederet bukti.
Sebagai
tempat wisata, kawasan karst pun tak kalah menarik. Panorama alam gua telah banyak
diketahui, cocok untuk wisata massal maupun minat khusus; seperti penelusuran gua.
Keberadaan fauna di dalamnya pun sudah layak menjadikan kawasan karst untuk dilindungi.
Namun,
kondisi terkini ekosistem karst nyaris terabaikan; hanya sebagai tempat eksploitasi
meraup keuntungan sesaat: mendongkrak pendapatan asli daerah [PAD]. Hampir
pulau-pulau di Indonesia, kawasan karstnya digunakan sebagai lahan
pertambangan.
Sejumlah
kawasan karst direncanakan akan ditambang dan beberapa pabrik semen akan
didirikan, seperti yang ada di Sangkulirang, Sukabumi, Grobogan dan Tuban. Penambangan
ini akan berdampak pada fungsi hidrologi sehingga peran karst sebagai tandon
air raksasa akan hilang. Pengelolaan wisata juga masih berorientasi wisata
massal yang cenderung mengorbankan keaslian dan
keunikan gua.
Potensi yang perlu
dikembangkan
Karst
sebagai ekosistem unik memang layak dilindungi, sekaligus juga akan
melindungi faunanya.
Kriteria-kriteria perlindungan pun telah melekat pada kawasan
karst. Persoalannya,
tinggal masyarakat dan pemerintah berupaya melestarikan keberadaaan karst dan
segenap potensinya.
Satu
hal mutlak, pengembangan potensi kawasan karst tidak meninggalkan pelestarian sekaligus
menyejahterakan masyarakat sekitar. Perlu dipikirkan bersama untuk mencari
pemecahan atas permasalahan yang ada.
Pengembangan
wisata gua, hendaknya lebih berorientasi pada kelestarian. Bukan pada pendapatan
sesaat yang mempertaruhkan nasib karst di masa depan.
Kerusakan-kerusakan
gua akibat pengelolaan wisata yang kurang tepat, hendaknya
menjadi pelajaran
yang berharga.
Pengembangan
potensi hidrologi sebagai cumber kehidupan perlu didukung agar dapat menjamin
kesejahteraan masyarakat. Pemanfaatan seperti yang dilakukan di Gua Bribin,
Gunung Kidul, dapat menjadi teladan pemanfaatan yang lestari. Kesadaran
beberapa pemerintah daerah dengan menerbitkan peraturan daerah karst perlu
dilandasi data akurat; agar tepat dalam perumusan dan penerapannya.(sumber tulisan;Copy BRAGA – Juli 2007) (sumber dokumentasi;copy korpala&aps agustus 2008)
0 komentar:
Posting Komentar